cara belajar akuntansi

cara belajar akuntansi

Hari ini JAK akan membahas pertanyaan dari rekan pembaca JAK. Pertanyaannya: ada nggak cara belajar akuntansi yang mudah dan efektif tanpa omong kosong bla bla bla? Sebuah pertanyaan tipikal anak muda yang menggunakan bahasa langsung, terdengar agak nyelekit, dan berhasil membuat saya senyum-senyum sendiri ketika membaca. Saya suka pertanyaanmu, wahai anak muda!
Namun sebelum itu ijinkan saya menyapa terlebih dahulu. Apa kabarnya, rekan?Semoga sehat dan semua aktivitas lancar. Saya (dan rekan-rekan admin lainnya di JAK) baru saja melewati masa-masa sibuk setelah penutupan buku dan pelaporan (komersial dan fiskal.)
Bicara soal tutup buku, sudah bagian dari rutinitas—tidak bisa dipisahkan dari keseharian sebagai seorang akuntan. Kalau soal jenuh, ya, pastilah. Tapi, mau bagaimana lagi; sebagai akuntan saya (dan rekan admin lain) harus fokus mengerjakan tugas, apalagi pada masa tutup buku yang tergolong big event di wilayah accounting.
Ada 2 hal yang membuat para akuntan—baik yang bekerja di satu perusahaan maupun yang menangani banyak perusahaan seperti saya—selalu bersemangat dalam menjalankan pekerjaan, yakni:
Pertama, kepuasan. Seneng banget ketika berhasil menyelesaikan pekerjaan hingga tuntas, ada kelegaan dan sekaligus rasa senang yang sulit dijelaskan dengan kata-kata (jika rekan sudah bekerja pasti tahu apa yang saya maksudkan.)
Kedua, menambah jam terbang. Akuntansi dan Perpajakan tergolong hardskill; tidak ada cara lain untuk menguasainya selain melakukan pekerjaan yang sesungguhnya. Itu sebabnya kepada adik-adik mahasiswa saya selalu menyarankan agar segera bekerja begitu lulus—jangan ditunda-tunda lagi. Semakin segera bekerja semakin bagus.
Bagi rekan-rekan yang sudah bekerjapun, terutama pemula yang menjurnalpun masih sering bingung (apalagi menyusun laporan keuangan), mengasah skill akuntansi tetap penting. Sebab, semakin banyak kasus yang pernah dihadapi semakin matang ilmu akuntansinya, semakin terampil dalam mengeksekusi pekerjaan, dan pada ujungnya akan semakin tinggi pula “nilai jual” skillnya.
Lalu, ada nggak cara belajar akuntansi yang mudah dan efektif tanpa bla bla bla omong kosong?

Kesulitan Dalam Menguasai Akuntansi

Secara teori, proses pembelajaran akuntansi di kampus sebenarnya sudah merupakan bekal yang cukup untuk terjun ke dunia kerja pada umumnya (dan profesi pada cakupan yang lebih sempit). Tidak hanya laporan keuangan satu perusahaan, bahkan pada mata kuliah ‘advance accounting’ sampai diajari caranya menyusun laporan keuangan perusahaan yang memiliki cabang dan anak. Dengan kata lain, begitu lulus mestinya sudah siap untuk bekerja. Faktanya?
Well, klien (perusahaan) yang saya tangani rata-rata punya pegawai accounting 3 s/d 7 orang. Diantara para pegawai itu, sebagian kecilnya lulusan SLTA (terutama SMK Jurusan Akuntansi) dan sebagian besarnya justru lulusan S1 Ekonomi Jurusan Akuntansi. Namun, nyatanya, perusahaan mereka masih butuh akuntan eksternal seperti saya untuk membereskan buku dan laporan mereka.
Ketika saya tanya mengapa butuh akuntan luar, pemilik usaha rata-rata mengeluhkan ketidakmampuan pegawai dalam menghasilkan laporan keuangan yang mereka harapkan.
Artinya apa?
Para pegawai lulusan S1 jurusan akuntansi—setidaknya yang bekerja pada 23 perusahaan yang saya tangani (sekitar 100 orang)—tidak sungguh-sungguh menguasai teknik akuntansi. Kesulitan mereka beragam:
  • Ada yang tidak menguasai perlakuan akuntansi secara lengkap untuk semua akun;
  • Ada yang masih kesulitan ketika berhadapan dengan jenis usaha spesifik tertentu (e.g. real estate dan hospitality);
  • Ada yang lemah dalam hal perlakuan akuntansi pajak;
  • Ada yang tidak paham accrual dan deferral;
  • Ada yang samasekali tidak paham akuntansi biaya;
  • Ada yang tidak paham tautan (link) antara satu jenis laporan dengan laporan lainnya;
  • Bahkan ada yang masih kesulitan dalam membuat rekonsiliasi bank;
  • Yang paling parah, mungkin, ada yang masih bingung dalam menjurnal;
Pemandangan seperti demikian lumrah. Yang agak memperihatinkan, akhirnya para pemilik usaha hanya bersedia menggaji pegawai accounting dengan nilai rupiah yang menurut saya jauh dari layak untuk ukuran pegawai berstatus sarjana. Dan bisa saya maklumi, sebab perusahaan masih harus membayar akuntan eksternal seperti saya.
Lalu, apakah ini salahnya rekan-rekan yang bekerja di sana?
Jelas bukan. Siapa yang siapa kerja 100% begitu lulus perguruan tinggi? Tidak ada. Dengan IPK 4.00 sekalipun bukan jaminan bisa langsung siap bekerja.
Lalu, salah siapa?

Kelemahan Sistim Pendidikan Akuntansi Kita (Bla Bla Bla)?

Secara teori, mestinya, lulusan S1 jurusan akuntansi sudah sangat menguasai ilmu akuntansi—baik akuntansi keuangan maupun akuntansi manajemen, perpajakan, bahkan sampai ke sistim pengendalian intern (SPI) dan auditing, bla bla bla. Namun faktanya? Tidak.
Mengapa? Apakah salahnya para akuntan pendidik?
Tidak juga. Mereka sudah mengajar sesuai kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, dengan menggunakan alat (termasuk buku literature) yang diperlukan. Seperti telah saya sampaikan tadi, mahasiswa sudah diajari ilmu akuntansi secara lengkap.
Disamping daya serap masing-masing mahasiswa berbeda, satu-satunya persoalan yang saya lihat disini adalah: terlalu sedikit waktu yang tersedia untuk mempelajari ilmu akuntansi yang—dalam praktek pekerjaan sesungguhnya—sangatlah kompleks!
Akibatnya, yang diajarkan oleh dosen (thus yang dikuasai oleh mahasiswa), hanya bagian-bagian permukaan saja—tidak sampai ke hindsight. Dalam literature bahan ajar akuntansi misalnya, contoh kasus yang diangkat—angka dan alur logikanya—sengaja dipilih yang paling lumrah dan mudah dipahami. Tujuannya jelas, mengejar target penyelesaian bahan ajar yang begitu banyak dalam alokasi waktu yang singkat.
Contoh yang saya rasakan sendiri:
  • Demi memahami materi kuliah tentang “Break Event Point” (BEP) sampai ke product-mixed lengkap dengan grafik-grafiknya, saya tidak sempat menguasai siklus pekerjaan akuntansi dari menjurnal sampai membuat laporan keuangan secara utuh dan lengkap.
  • Demi memperoleh nilai A untuk mata kuliah “Sistim Informasi Manajemen“ (SIM), saya harus kehilangan kesempatan untuk memahami “Sistim Pengendalian Intern” (SPI) dalam praktek pekerjaan yang sesungguhnya.
Lucunya, begitu lulus kuliah saya bekerja di KAP yang tak sekalipun pernah disuruh mengotak-atik BEP. Dalam menjalankan pekerjaan di KAP saya lebih sering menggunakan workseheet sederhana (as long as it gets the job done) ketimbang teori “automation” yang masih jauh panggang dari api.
Saya tidak menyalahkan kurikulum (apalagi para dosen yang sudah mengajari saya begitu banyak ilmu), baik kaitannya dengan pengalaman saya saat masih pemula maupun saat saya bertindak selaku akuntan eksternal dan menangani klien dimana banyak menemukan anak lulusan S1 akuntansi belum mampu menjalankan pekerjaan akuntansi secara mandiri. Saya lebih suka berpikir tentang solusi.
Solusinya (yang tanpa bla bla bla omong kosong)?

Solusi

Jika bukan salahnya perusahaan dan bukan salahnya perguruan tinggi, lalu bagaimana nasib rekan-rekan yang sudah bekerja namun belum bisa membuat laporan keuangan?
Mereka yang ketemu saya, aman. Sebagian besar dari staf accounting perusahaan klien saya akhirnya minta dibimbing. Namun karena waktu saya terbatas dan jumlah mereka cukup banyak, maka terpaksa saya buatkan modul belajar semacam “crash course” yang—dalam waktu relative singkat—bisa membuat mereka mampu menjalankan prosedur akuntansi—dari nol sampai minimal menghasilkan laporan keuangan.
Setelah mereka mampu menjalankan pekerjaan akuntansi sampai menghasilkan laporan keuangan pun, mereka masih tetap saya bimbing. Bahkan banyak yang masih sering ketemu saya setelah mereka pindah tempat kerja (ada yang sudah jadi chief accountant, manajer keuangan, auditor, dan konsultan pajak mandiri.) Sebab, akuntansi memang membutuhkan proses pembelajar yang terus-menerus, seumur hidup, selama masih berprofesi sebagai akuntan.
Mungkin terdengar klise, tetapi memang begitulah faktanya; tidak ada orang yang mendadak jadi “expert” di suatu bidang tanpa menghabiskan waktu cukup lama untuk bergelut di bidang tersebut. Terlebih-lebih bidang akuntansi yang jelas-jelas merupakan skill teknikal, anda wajib menguasai teknis pekerjaannya—minimal hingga menyusun laporan keuangan.
Saya pribadi juga butuh puluhan tahun—sempat pindah dari satu jenis perusahaan ke perusahaan lain (termasuk dari KAP ke industri)—hingga benar-benar mampu menangani setiap persoalan akuntansi yang muncul dalam tataran pekerjaan. Dan, sampai sekarang pun saya masih harus belajar.

Jurnal Akuntansi Keuangan (JAK) adalah tempat saya berbagi sedikit pengetahuan dari pengalaman saya menjalankan pekerjaan akuntansi. Namun karena kesibukan, belakangan mungkin agak kurang terupdate. Saya juga minta maaf jika banyak email (dan inbox Facebook) dari rekan yang belum sempat saya balas—saya sudah berusaha mencicil, namun email dan inbox yang masuk sangat banyak (rata-rata 50 an lebih per hari).
Ke depan, saya ingin menyajikan artikel-artikel yang lebih bermanfaat, lebih praktikal, lebih actionable, dan terutama sekali LEBIH TEPAT-GUNA; sesuatu yang benar-benar rekan butuhkan untuk meningkatkan skill akuntansi, keuangan dan pajak.
Khusus untuk rekan-rekan yang mengalami kesulitan tertentu yang sifatnya spesifik, baik yang sudah bekerja maupun yang hendak memasuki dunia kerja, saya bersama crew JAK lainnya berencana untuk meluncurkan “modul belajar akuntansi online” yang didesain secara khusus—menggunakan server dan flatform khusus—dengan materi yang sifatnya actionable dan dengan target hasil yang jelas, tanpa omong kosong bla bla bla. Mungkin semacam “Crash Course” seperti yang selama ini saya gunakan untuk membimbing staf accountingnya perusahaan klien.
Untuk itu, rekan yang berminat dan mendukung rencana JAK menyajikan modul belajar akuntansi khusus yang efektif (tanpa bla bla bla omong kosong), silahkan sampaikan kesulitan khusus yang rekan alami dalam menguasai skill akuntansi dan perpajakan. Kalau bisa sampaikan sesuatu yang benar-benar menyulitkan dan sangat ingin rekan kuasai. Maksud saya, wilayah yang lebih spesifik. Misal: proses menyusun laporan keuangan jenis manufaktur, atau jenis usaha retail, atau jenis usaha jasa, atau Hotel, Restoran, dll yang sifatnya spesifik (seperti yang dialami oleh staf accounting klien saya), atau mungkin wilayah spesifik lainnya selain proses menyusun laporan keuangan?
Silahkan disampaikan dengan cara mengisi formulir berikut ini (tolong cantumkan email yang biasa rekan gunakan dan masih berlaku):
  • Efektif Belajar Akuntansi

0 komentar:

Posting Komentar

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda